Situasi Mutakhir
Tiga bulan yang lalu (26/01), saya melalui hidup dengan status baru sebagai suami. Saya sih merasa nggak ada yang spesial at all. Kecuali sekarang, ada yang nemenin tidur (walau kadang annoying jg, -saya lagi asyik baca buku, istri maksa supaya tidur aja), trus yang paling demen sih.. kalau pulang sudah ada makan malam & kalau pagi2 sudah tersedia secangkir kopi item kesukaan.
Kalau dulu sering dia tanyain teman2 dengan pertanyaan berulang: kapan menikah? Setelah sukses lulus menjawab pertanyaan itu, sekarang pertanyaan itu di-upgrade dengan: sudah isi belum? Saya sih suka ngeles, apanya yang diisi? Hehe… Pertanyaan yang susah dijawab, sekelu kalau harus disuruh menjelaskan keempat hukum Maxwell.
Terima kasih banget, buat teman2 yang sudah banyak membantu kesuksesan acara pemberkatan dan resepsi kami. Especially, buat Rudi Harianta (yang bela2in datang dari Arab untuk berperan bak Frodo dalam Fellowship of The Rings) dan teman2 Pigipora yang lain. Tengkyu juga buat sahabat istriku yang ligat membantu: Vera dan Kat.
Lega… itulah kesimpulan dari semua prosesi ini.
Sekarang kami memulai hidup baru, semuanya berawal dari NOL. Ini cocok dengan tema foto kami berdua saat duduk di tonggak yang pernah ditancapkan Daendels. Ucapan Daendels bagi saya bagaikan pesan orangtua: “Zorg, dat als ik terug komhier een stad is gebouwd!” Kami telah mengusahakan untuk membangun sebuah rumahtangga baru.
Kapan-kapan saya upload fotonya!
Kondisi Politik dan Ekonomi
Beberapa situasi politik yang menarik perhatian saya adalah:
- Pasangan Syamsul Arifin & Gatot Pujo Nugroho memenangkan Pilkada Sumatera Utara. Ini sebuah pukulan telak bagi partai-partai besar yang berkuasa di parlemen Sumut. Calon-calon yang mereka ajukan tidak diminati. Kalau melihat rekapitulasi perhitungan suara (berdasar pemberitaan Kompas) sbb: Syamsul-Gatot total meraih 1.396.892 atau 28,31 persen dari total 4.933.687 pemilih. Sisanya: pasangan Tritamtomo-Benny Pasaribu 1.070.303 suara atau 21,69 persen ; pasangan Abdul Wahab Dalimunthe-Muhammad Syafii 858.528 suara atau 17,40 persen ; pasangan RE Siahaan-Suherdi 818.171 suara atau 16,58 persen dan ; pasangan Ali Umri-Maratua Simanjuntak 789.793 suara atau 16 persen. Apa yang menarik? Ternyata tingkat partisipasi pemilih hanya 59,1 persen. Artinya, umumnya warga Sumut tidak berminat untuk mencoblos. Mungkin semua sudah bosan dengan janji-janji manis para calon-calon gubernur. Setelah pemilihan usai apa yang diekspektasikan “jauh asap dari api.” Konklusinya, yang menang adalah golput.
- Sebelumnya pasangan Hade (Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf) sukses menjadi Governor Tanah Parahyangan (perolehan 7,287,647 dengan persentasi 40,50 %) yang mengalahkan pasangan Agum Gumelar dan Numan Abdul Hakim (wakil gubernur incumbent) yang mendapat 34,55% dan Danny Setiawan (gubernur incumbent) dan Iwan Sulanjana yang mengumpulkan suara 24,95%. Tingkat partisipasi rakyat Bumi Sangkuriang lebih baik sedikit dibandingkan Sumut, golputnya cuma dua-puluh-persen.
Mengapa ini penting saya tuliskan! Bagi saya ini suatu mis-manajemen mengatur negara. Rakyat sudah cuek dengan pemerintahnya. Harga bahan pokok selangit, pun langka. Pasokan gas elpiji menghilang. Harga minyak dunia naik, dampaknya pemerintah ambil ancang2 menaikkan harga BBM. Ini tidak termasuk tingginya angka pengangguran dan inflasi yang membumbung.
Secara mikro sih, tidak terlalu memberikan dampak bagi saya secara pribadi. Walaupun tahun ini gaji saya nggak naik, secara kerjanya belum setahun. Saya masih bisa mengatur kantong untuk menghemat konsumsi dan gaya hidup.
Namun kondisi ini mengingatkan saya pada tahun 2004, menjelang pemilu raya kita. Inilah titik nadir yang selalu saya ingat. Kala itu, saya tidak suka dengan pekerjaan yang ditekuni dan akhirnya kontrak kerja diputuskan.
Kondisi pemilu membuat banyak perusahaan yang wait and see, sehingga saya frustasi tiap membaca Kompas Sabtu dan Minggu. Hampir tidak ada lowongan kerja.
Mungkin saat yang sama terulang kembali, saya dapat membayangkan apa yang dirasakan fresh graduate dan pencari kerja.
Kala itu -3.5 tahun silam, selama 6 bulan saya bolak-balik Jakarta – Bandung menumpang bus ekonomi penuh asap rokok supaya dapat kerjaan lagi. Finally, setelah tabungan terkuras ke titik NOL saya mendapatkan kerjaan di Bogor.
Kondisi politik dan ekonomi yang nggak jelas ini menggelisahkan saya. Seperti keadaan ini memaksa kita mencari exit door hanya untuk menyelamatkan diri sendiri. Saya juga merasa tidak tahu berbuat apa, sekedar nimbrung without action.
Buku Yang Rampung Dibaca
Satu bulan terakhir ini saya rampungkan membaca best-seller karya Andrea Hirata. Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan Endensor.
Laskar Pelangi
Laskar Pelangi, -bagi saya sangat membosankan. Andrea mengisahkan perjuangan anak-anak Belitung untuk mengenyam bangku sekolah. Ceritanya menarik dan patut dijadikan refleksi pendidikan nasional kita saat ini. Hanya saja kemasannya sangat berat, penuh dengan penyebutan nama-nama ilmiah untuk tumbuhan, dsb.
Tuturan Andrea ini seperti sebuah mesin waktu bagi saya untuk melihat perjalanan ke belakang saat masih tinggal di dusun Borneo. Saya ikut mengalami keadaan seperti yang Ikal (tokoh Laskar Pelangi) rasakan.
Permainan adu biji karet (hehe, ini permainan favorit kami), maen kelereng pakai biji (lupa namanya), perang meriam bambu, et cetera.
Yang mencengangkan saya buat buku Andrea adalah kecerdasan Lintang (teman sebangku Ikal). It is extraordinary! Duduk di bangku sekolah dasar, Lintang mampu bergumul dengan fisika Newton, Euclid dan ilmu kanugaran lain. Bayangan saya pengetahuan itu masih antah-berantah buat anak-anak desa, saya pun mengetahuinya saat menginjak bangku SMU dan kuliah. Kelihatan mustahil! Bukan karena Lintang tak mampu, namun itu semua karena kurangnya buku dan informasi.
Seumur-umurnya sewaktu bersekolah di Kalimantan, kita kurang banget (kalau mau disebut tidak ada) buku referensi. Yang ada cuma buku terbitan Balai Pustaka telah dipakai entah berapa tahun.
Saya pernah punya kakak kelas, sewaktu di SMPN-1 Rantau Kujang Kecamatan Jenamas. Guru Fisika saya, Pak Totok Sucipto (alumnus IKIP Malang) pernah cerita bahwa selama beliau mengajar di sekolah itu, dua muridnya yang cerdas dan serba mampu menjabarkan ilmu fisika yang beliau ajarkan adalah kedua kakak kelas ini: Samsul Bahri dan Baihaki.
Samsul Bahri, -salah seorang murid Mama (sewaktu di SD), adalah anak pambakal (kepala dusun) Tampulang yang harus menempuh 1 jam perjalanan menyeberang sungai Barito untuk bisa bersekolah. Informasi terakhir yang saya dapatkan Asul (nama panggilannya) bekerja sebagai buruh di perusahaan batubara di hulu Jenamas.
Baihaki, -anak Camat Jenamas, SMP hanya 5 menit dari rumah dinas ortunya. umumnya kompleks perkantoran dan rumah dinas di kecamatan terpencil pasti terkumpul. Setamat dari SMP, melanjutkan sekolah ke ibukota Kabupaten Barito Selatan, di Buntok. Akhir tahun 2006, saat saya dolan ke Jenamas, saya mendapatkan informasi Baihaki berprofesi menjadi dokter dan ditunjuk menjadi tim khusus untuk jemaah haji Kalsel.
Tahun 2006 yang lalu, Jenamas tidak berubah tetap dengan belum memiliki SMA. Saya nggak dapat membayangkan apa yang terjadi pada saya seandainya tidak pindah dari sana.
Ngeri juga, sekian lama kita merdeka, pendidikan belum mampu kita sebarkan sampai ke pelosok-pelosok. Malah kalau bisa tarik benang merahnya, orang2 yang bersekolah -seperti saya ini, bukan dididik untuk memberikan manfaat tapi malah apatis bahkan akan menjajah sesamanya jika diberi kekuasaan.
Sang Pemimpi dan Endensor
Berbeda dengan Laskar Pelangi, dua buku terakhirnya (Sang Pemimpi dan Endensor) zonder ruwet. Lebih kocak tapi sarat makna. Andrea berhasil memompa kembali hasrat saya untuk mencari sesuatu yang lebih.
Selama ini saya merasa nyaman dengan keadaan sudah bekerja, tapi sekarang menjadi gelisah. Petualangan Andrea menjelajahi Eropa dan Afrika seolah-olah mengajak saya untuk kembali bermimpi menjelajah negeri yang bagi saya masih terrae incognitae.
Serasa sekolah strata satu masih belum cukup. Ada banyak potensi diri yang belum dimaksimalkan. Kalau boleh diibaratkan, diri ini seperti HP-3G yang cuma dipakai buat telpon2an dan sms saja 🙂
Saya masih belum menyusun rencana, masih sekedar menyemai kembali mimpi-mimpi. Badan masih terasa lembam, sambil merenungkan kesimpulan diskusi dengan manajer saya:
“Sebenarnya nggak ada orang malas, tapi yang banyak adalah orang kekurangan mimpi sehingga tidak berbuat apa-apa …”
Nggak jauh berbeda dengan yang dikatakan Madam Eleanor Roosevelt:
“The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams.”
Saya harus belajar lagi bermimpi. Thanks to Andrea Hirata for the inspirational books.
Note: gambar diambil dari blog-nya Chrissie’ E-Column
selamat menempuh hidup baru, Bung. oh well, hidup lama bonus penghuni tetap baru :D. mohon maaf tidak bisa hadir di kedua resepsi. amang tahe, kawan sebangku awak nikah, awak tak datang.
orang yang tidak punya semangat dan cita-cita sama saja ia sudah tidak ada lagi di dunia ini.
bung andrea membisikkan kata-kata itu padaku lewat hembusan yang tulus
andrea
aku suka banget sama laskar pelangi
boleh dung kirimin kita buku yang sang pemimpi sama edensor
Bos, d jenamas sejak 2005 sdh ada SMA, ente aja yg gak jalan2 ke belakang (ke darat, kata org jenamas). Jgn hiperbolik dong nyebut jenamas (sebenarnya yg benar rantau kujang, jenamas nama kecamatannya) dusun. Waktu ente blm lahir aja udah jadi kelurahan. Salam.
Bung Karuhei,
Saya org Jenamas jg, sekarang jenamas ada sma juga lo, walau muridnya dikit.. hehehehe..
salam kenal
semoga menjadi suami yang baik dan kasihilah istri bapak dengan sepenuh hati, semoga bahagia,,,
Ass.,
kang andre mau kasih masukan nih kalau bisa buku tetralogi dari laskar pelanginya ditambah atuh> karena ceritanya dapat dijadikan motivasi buat saya
Siapa blang jenamas ga pnya SMA,skrang ad kok,dan aq lhat org2 yg lulusn dr SMP jenamas smuana hmpir sukses,,
ka Yuharto kpan blik?
Kak maya a.k.a galuh banjar nang bungas…
ini kisah bahari… waktu msh di jenamas thn 92-an.
waktu itu bln ada SMA… pas tahun 2006 jg blm ada SMA Negeri di Jenamas