DARI FILOSOFI DI PIKIRAN UNTUK KONSTRUKSI BERTINDAK

Kemarin kami mengadakan pertemuan daring, setelah sekian lama nggak begomak, -istilah orang Medan untuk bincang-bincang tanpa topik. Kami ini, berlima (Hotdi, Iwan, Frando, Rudi dan awak), lulusan biasa-biasa elektroteknik yang nggak sengaja berkumpul di setiap Jumat untuk menjalani ritual makan daging Ti Pat Kay. Akhir terbentuklah nama perkumpulannya: Pigipora.

Secara alami: sikap, pikira, cara pandang tentang hidup, dan banyak urusan lain sangat berlainan. Dari urusan karir, pandangan religius, perencanaan keuangan, sepakbola, badminton dan banyak topik lain. Sering kita berdebat, saling men-challenge pemikiran dan pendapat, yang kadang kalau tarik kesimpulan: agree to disagree. You stay there, I stay here.

Di waktu hampir dan baru tamat kuliah, kita berdebat tentang filosofi untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Step-by-step apa yang perlu dipersiapkan dan tindakan apa yang harus dilakukan.Rudi dan awak ini, tipe berpikir. Dalam konstruksi tindakan dan keputusan yang diambil, harus ketemu alasannya apa. Iwan dan Hotdi, tipe praktikal. Jalani ajalah hidup dan senantiasa mengucap syukur, that’s all. Kalau Frando, kawan ini posisi berpindah-pindah, kadang irisan berpikir dan praktikal, tapi sering juga di luar {berpikir U praktikal}.

Nggak heran Rudi dan awak, lebih banyak berteori dulu untuk urusan emosional dan filosofi lawan jenis, dari pada pedekate dan pacaran. Kalau Iwan, ketemu cewek, diajak diskusi nyambung, OK jadian. Ha ha ha.

Sedangkan Frando, karena banyak waktu hidup di Jerman, ada missing-link gimana pendapat kawan ini tentang jodoh. Kisah cintanya lebih banyak didukung oleh tangan-tangan matchmaker.

Bagi Rudi dan awak, Hotdi ini paten. Dia membangun relasi jodohnya dalam suasana rohani, hasil nonton konser Don Moen di Sabuga, dilanjutkan dengan romantisme film bioskop A Walk to Remember (2002). Hati cewek pun langsung terkunci, sesuai OST-nya filem itu Only Hope: And I lift my hands and pray, to be only yours I pray, to be only yours I know now, you’re my only hope.

Jalani aja, prinsip dasar Hotdi. Tapi model jalani aja ini, benar-benar mengunci, karena di sana ada ketulusan dan kesetiaan. Nggak ada yang bisa mengganti kombinasi kedua sifat ini bila berpadu.

Bagi awak dan Rudi, ini aneh. Harus ada dasar-alasannya. Rudi bercerita, waktu kuliah dia bertanya kepada lulusan terbaik angkatan kami. Apa yang mendasari si lulusan terbaik ini rajin belajar dan selalu menghasilkan nilai sempurna bin perfekto di semua mata kuliah. Tentunya, Rudi berharap ada dasar yang kuat, misalnya pembuktian diri atau mau berkarir di perusahaan hebat. Rupanya alasannya “cuma” nggak ingin mengecewakan mamak si-lulusan-terbaik ini aja. That’s all. Tentu aja nggak bisa dijadikan pondasi, bagi Rudi, terlalu sederhana alasannya. Ha ha ha.

Kemarin Rudi dan awak bertanya, apa alasannya Hotdi konsisten berolah raga (lari, sepeda plus renang). Sehingga di umur 40-an ini, cuma kawan ini yang postur bodi ideal. Dia konsisten lari avg 40 km per minggu.

Selain konsistensi berolah raga, kami juga bertanya apa yang filosofi hidupnya, sehingga ia bisa santai menjalani pilihan karir (tanpa ambisi yang menggebu-gebu). Menjalankan tugas sepenuh hati. FYI, kawan ini dari tamat kuliah berkarir di PJB (anak usaha PLN). Selama beberapa tahun menjalani rutinitas pulang-pergi Bandung-PLTA Cirata dan Bandung-PLTU Indramayu, dan sekarang menjalani penugasan di induk usaha, PLN Pontianak.

Sekali lagi alasannya, ya dijalani aja. Awak dan Rudi, kembali geleng-geleng. Nggak ketemu filosofi berpikirnya untuk alasan mengambil tindakan. Susah kami pahami yang begini. Sampai Rudi berkesimpulan, nggak ada alasan yg membuat dia tahan untuk perseverance berolahraga secara konsisten. Seolah-olah itu memaksakan ayam untuk berenang. Nature-nya dia yang menikmati kuliner enak, tapi nggak menemukan alasan bagaimana membakar tumpukan lemak dampak dari makanan enak ini.

Kami mungkin harus sabar menunggu Hotdi memformulasikan pola pikir jalani aja ini. Supaya bisa kami pahami. Atau jangan-jangan kami ini overthinking, memikirkan sesuatu yang harusnya nggak perlu dipikirkan dan cukup dijalani aja.

Oiya.. tentang overthinking dan konstruksi dalam pikiran ini bisa dijelaskan dengan joke berikut ini:

Era pra-smartphone, orang-orang sering berbagi joke lewat mailing-list. Waktu itu ada yang membagikan pemisalan nama-nama film Holywood dalam bahasa Batak.

Berikut ini terjemahan film sekuel Bruce Willis:

Die Hard — Dang Ra Mate (Tidak Mati)

Die Hard II — Tong, Dang Olo Mate (Tetap, Tidak Mati)

Die Hard III — Dang Marna Mate Fuang (Beuh, nggak mati-mati juga)

Terjemahan ini biasa aja, tapi terjemahan film di bawah ini bisa membuat Rudi dan saya terpingkal-pingkal 30 menit (oiya.. Iwan biasa aja, dia tertawa hanya berpartisipasi aja):

The Italian Job – Parbola

Film Italian Job, diterjemahkan jadi pemain bola. Bagi Rudi dan saya, ini lucu nggak-ketulungan. Di era 90-an Serie A Italia tenar seantero Indonesia via siaran langsung RCTI. Kami membayangkan penterjemahan ini dilakukan di lapo tuak, dan orang yang nongkrong di lapo itu taunya kerjaan orang Italia itu cuma main bola.

Out-of-mind, plot film mafia jadi pemain bola, karena praktikal di pikiran orang Batak, kerjaan orang Italia cuma main bola dan mereka hapal semua pemain Serie A Italia. Ha ha ha

Udah dulu ah… cukup membahas begomak semalam. Sebentar, tapi cukup menghibur, sambil mengingat perdebatan di masa lampau, yang tetap dipersatukan oleh daging Ti Pat Kay.

Leave a comment