In Memoriam Remy Sylado

Politisi Gerindra, –Fadli Zon, mewartakan via twitter: Sastrawan multitalenta Remy Sylado telah berpulang.
Secara personal saya mengenal Remy Sylado lewat karya-karyanya. Bagi saya, sosok ini bukan sekadar sastrawan, tapi seorang munsyi (alias pujangga dan ahli bahasa). Merujuk kepada referensi nama Abdulllah bin Abdulkadir Munsyi (ahli Melayu modern).

Perkenalan awal karya Remy adalah novel Kembang Jepun, -yang saya pinjam dari tempat penyewaan komik di Dipati Ukur, Bandung.

Plot utama adalah percintaan Keiko (alias Keke), gadis Minahasa yang menjadi geisha di Surabaya dengan Cak Broto seorang wartawan yang melewati tiga rezim: kolonial, zaman Jepang dan zaman kemerdekaan.


Cak Broto dan Keke bertemu di izakaya semasa zaman kolonial di sekitaran Jalan Kembang Jepun, kawasan Jembatan Merah Surabaya.

Cak Broto memberikan liontin pada Keke dan sampai akhir mereka bisa menikah walau tanpa restu orangtua.
Koflik zaman Jepang dan zaman kemerdekaan silih berganti menghampiri Keke dan Broto yang membuat mereka terpisah secara fisik dan tempat.

Keke dipaksa kawin dengan orang Jepang, tertawan dan harus pergi ke Jepang. Sementara Broto, cintanya putus pengharapan dan akhirnya menikah lagi.

Ujung cerita ini adalah kekuatan cinta, mereka dapat bertemu lagi setelah lebih dari 20 tahun. Dalam keadaan yang sudah renta, rezim yang sudah berganti berkali-kali, tapi cinta mereka abadi.

Yang menarik sebenarnya dari tiap bab kisah mereka, Remy menuliskan kutipan yang membuat kita merenung seperti:
…istiadat selalu meminta orang untuk berpihak padanya, dan siapa yang berpihak pada istiadatnya, selalu akan mencurigai istiadat orang lain.”

Dalam bahasa mutakhir (kekinian), mungkin Band Armada bisa mendefinisikan konflik cinta ini:

“(Daripada) aku punya ragamu, tapi (aku tidak memiliki) hatimu… Ku rela kau (pergi) dengannya, asalkan kau (benar-benar) bahagia …”

Dalam hal ini penderitaan kalah menaklukkan cinta, dan cinta akhirnya menemukan mukjizatnya sehingga Broto dan Keke bisa bersatu, menghapus semua penderitaan.

Saking membekasnya kisah Kembang Jepun ini, waktu pertama kali berkunjung ke Surabaya, yang pertama kali pengen saya lihat adalah area sekitaran Jembatan Merah dan Jalan Kembang Jepun di pecinan Kya-kya.

Persis seperti novel Andrea Hirata, yang membuat saya penasaran untuk mengunjungi Sorbonne dan pemakamaan Pere Lachaise waktu melawat ke Paris.

Karya Remy Sylado lainnya, yang saya baca:

  1. Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa (sudah diadaptasi ke layar lebar, soundtrack filmnya dinyanyikan oleh Warna)
  2. Parijs van Java: Darah, Keringat, Air Mata
  3. Boulevard de Clichy: Agonia Cinta Monyet
  4. Kerudung Merah Kirmizi

Selain lewat novelnya, saya juga mengikuti tulisan Remy Sylado di rubrik Bahasa Harian Kompas. Paling seru saat berdebat melalui tulisan mengenai kata “salju” yang dikenal pada bahasa Indonesia, padahal secara fisik salju tidak ada di Indonesia. Kalau tidak salah ingat, salju ini diambil dari bahasa Arab.

Menggunakan nama: Alif Danya Munsyi, Remy menuliskan buku “9 dari 10 kata bahasa Indonesia adalah Asing.” Tak heran di cenel Youtube, kita menonton beberapa persamaan kata Indonesia dan Portugis. Kalau dari bahasa Arab atau bahasa daerah, lebih melimpah lagi. Membuat bahasa Indonesia lebih terkini dibandingkan bahasa Melayu sebagai bahasa muasalnya, dan tentu saja banyak dari kita ogah menyamakan bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu versi Malaysia.

Remy Sylado juga cukup updated terhadap perkembangan, saat pasar dipenuhi dengan novel chicklit, dia menulis Boulevard de Clichy.

Tapi bagi saya yang menarik membaca judul Kerudung Merah Kirmizi. Kata “kirmizi” sepertinya jarang dikenal secara umum. Merah Kirmizi adalah merah pekat (turkey red), merah darah seperti peta di Google map saat macet tidak bergerak sama sekali.

Pewarnaan kirmizi pada kain, katanya diambil dari akar tumbuhan rubia. Nah secara khusus, kata kirmizi sering didengar umat Kristen, untuk menyatakan kebaikan Tuhan: “sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju.” Kain yang sudah merah pekat, dapat dijadikan putih bersih oleh pengampunan dan kebaikan Tuhan.

Penutupnya: Selamat jalan Remy Sylado. Beristirahatlah dengan tenang. Terima kasih telah mewariskan karya yang hidup di hati dan pikiran saya.

Leave a comment